POEMS

ABOUT - PROJECT - ARTIST - STORE - SERVICE - GALLERY - INSTALLATION - WORDIES - CONTACT - LINKS -

words could be the worst world's civilization

TINGKI NI ARI

Tondinghu mangaranapi tu tingki ni ari
Ahu na sai mangetongngi angha ari naung salpu tu parsalpu ni hosanghu
Sai lam huetongi sai lam lilu ahu
Sai huranapi sai lam so tardungdung ahu

Di son, di ombas on tingki ni ari mardongan holom manang na tiur
Di son, di ombas on
Tu dia ma luluanhu angha tingki di ngolu ni nasa ompung ni ompunghu
Nang pe sai tong di dop hon rohangku Inghon na pajumpang do muse sada tingki di sada inganan

Tondinghu mangaranapi tu tingki ni ari
Ahu na sai manetongngi angka ari naung salpu tu parsalpu ni hosangku
Mabaor angka ari, lilu martingki

Cayung Siagian
Toba Samosir, 8 Nov 96
Translated by HASIAN (Imelda Hutapea)


TONDI NA MANGARUNTA

Sai sarat sarat do ho mangalangka, gale simanjojak mi
Dipuccu ni ari, dung muap hodok mi
Manaon alogo di tonga borngin, paima mulak tondi tu bagas
Angir ni tuak mardongan hodok
Nunga salpu sahabinsaran, sidung tong saborngin alai rarat ni nipi i sai humitir manggugai

Dungo ma ho ale tondi(nghu), paeret tu na tiur
Pamatang naung lam ompas martinaonan, padiar ma di si
Gorgahon angka arsak ni ari manogot Nga suda be nian lak lak ni hau
So adong be nian aek ni dapdap
Alai so mar na so halilu ni tondi marjalang

Ale Datu ni hata na martona sian sopo martangga lima di luat na mago
Sopo pangusandean di tondi na loja
Marsap ilu dohot sihol ni roha di holong na so marhasudaan
Laos sintak do tondim, disintakhon andung ni ale ale mi

Cayung Siagian Brooklyn, NY January 99
Translated by HASIAN (Imelda Hutapea)


DESTINY

searching, exploring, seeking,
my Destiny sailed the sky,
like the sun.
my perfect senses unable to comprehend.
I can only contain it with love,
that which is innumerable and beyond understanding
it's many auras,
drifting, orbiting the purity.
my moment of realisation.
I read the pages of the Book of Knowledge.
it's words are restlessly interpreting the world
whose sweet temptation enchants me,
fills me with longing.
this world, which is often called "Civilisation".

searching, questing,
my body, jealous of my spirit.
my dense blood obstructs my Soul with
my humanity, my heroism,
my egoism,
my hypocrisy,
my greed,
my cruelty,
my arrogance, and
my Curiosity.

seeking, seeking,
I try to find the answer,
by way of Art and Love.

Cayung Siagian
Brooklyn, Januari 13, 2000
Translated by: Cyntia Webb


SPACE & TIME

I pass once again through the vision of the dimension of space
I count once again second by second the journey between life and death
The more I count the more lost I become
The more I think the harder it is to get there
Now and here Space and time are mixed up with bright and dark
Now and here I lost the space and time of my ancestors
But I realize or dream
The meeting between space and time will still take place
I pass once again through the vision of the dimension of space
I count again second by second the journey between life and death
Space and time is ruined and lost

Cayung Siagian,
Samosir Island/lake Toba, November 8th 1996
Translated by Henri Budiman


PETA TANAH KEMISKINAN

Di pinggul tanah tinggi ini moyangku melahirkan nenekku
Di pinggir ladang dan sungai-sungai kecil ini kuawali ceritaku
Di rumput hijau ini ibuku rela meneteskan darahnya untukku
Di atas tanah gembur sisa lahar ini berawal nyawa dan dosaku

Kini disini, diatas bukit barisan ini kurebahkan tubuhku
Kini disini, dibawah sisa-sisa pepohonan ini kurebahkan tubuhku
Kini disini, didasar jernih danau agung ini kurebahkan tubuhku
Kini disini, dilembah-lembah dan digua-gua ini kurebahkan tubuhku

Kubeliakkan mataku ke langit, kukerutkan kening
Kemudian kutundukkan kepala, kupanggil moyangku
Tak sampai sedetik aku tiba di Pusuk Buhit
Disambutnya aku dengan hati terbuka
Kutanya mereka, apa kabar dunia istirahatmu
Dibalasnya dengan kata-kata kegaiban
Pesan yang bernada kesal dan berisi harap
Selamat memikul nama baru cucuku
Tugas kami sudah selesai, kini giliranmu
Lembah-lembah Tapian Nauli dan bukit barisan Tanah air warisan leluhurku

Dulu dan kini masih gelisah dibawah sisa asuhan dunia Barat
Dulu dan kini masih diintai-intai dunia dari Timur Tengah
Dulu dan kini masih resah diludahi perut busuk penghianat licik
Dulu dan kini masih terjepit kumpulan terbesar manusia bersabda baru
Dulu dan kini masih ditawar-tawar pembeli tanah utusan dalang
Dulu dan kini kemurnianmu masih dikerok

Kini di sini, di tanah kebangsaanku

Merenung aku di tanah kebangsaanku
Kupanggil Debata sebelum Dia memanggilku

Cayung Siagian.
Soposurung, Balige, 1996


ARWAH POHON-POHON

Pohon-pohon itu kini telah hilang
Certa lamamu sudah di habisi kuasa
Tubuhmu kini berubah menjadi kertas,
media perjanjian dan alat penukar
Sudah jadi pembalut tubuh yang angkuh
Atau sudah jadi daun peti harpa yang agung,
Peti irama penghibur istana manusia

Pohon-pohon itu rumah tinggalku
Engkau sumber awal penghidupanku
Aku masih ingin berteduh dibawahmu
Aku masih ingin bertengger di puncakmu

Pohon-pohon itu kini tinggal nama dan kenangan perih
Perjalanan hidupmu dikeroyok akal-akal dagang

Pohon-pohon
Kutau engkau tak butuh peremajaan
Engkau hanya butuh perlindungan diri
Keberadaan tunas-tunasmu butuh pelestarian
Semua demi tunas-tunas manusia di hari depan juga
Tunas-tunas ciptaan lainnya dan keseimbangan alam
Pohon-pohon
Maafkan kemanusiaan ini
Yang selalu jadi bayangan gelap mimpi buruk mu

Cayung Siagian


CIPTAAN DAN HITAM PERADABAN

Capek sudah aku berpinta-pinta
Namun nafsu dan serakah tetap mendongo dan tuli
Adalah wibawa selokan busuk bagi pikir yang dangkal
Yang duduk dikursi emas tanpa pernah menapak bumi

Burung bersayap bukan untuk ditangkar
Bukan pula untuk siperut buncit berotak durjana

Omong kosong pencinta binatang
Apa pula arti pencinta manusia
Artinya kita harus ditangkar
Harus pula siap dibedil dibakar

Terbukti sudah kita belum terbangun
Belum pula ingin tertidur
Atau, belum sempat terlahir
Capek sudah aku berpinta-pinta

Cayung Siagian
New York, NY
September, 1999

SAHABAT RIMBA

Kuseberangi sisa air sungai perbatasan
Sungai yang semakin mengecil, semakin tak bening
Botol plastik bekas penebang pohon terapung terbawa
Entah akan pergi kemana, entah dari hulu yang mana

Kini kurekam lagi jeritan cinta sahabat rimba
Aku gelisah mencari kegelisahan saudara sepupu
Nenek moyangku sebelum kumpulanku ternoda akal
Kutemukan mata mereka sinis berlapis sutra kusut

Sahabat-sahabatku lapar, murung dan gelisah
Laparnya terjepit ribuan tunas-tunas pohon rambung
Hidup mereka terancam